Memahami Mahar Haji untuk Pernikahan, Bagaimana Hukumnya?

mahar haji

Memahami Mahar Haji untuk Pernikahan, Bagaimana Hukumnya?

Mahar merupakan salah satu syarat dalam pernikahan yang wajib dipenuhi oleh calon mempelai pria kepada mempelai wanita. Dalam praktiknya, mahar bisa beragam bentuk, mulai dari uang tunai, perhiasan, hingga barang-barang lainnya yang disepakati. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah mahar haji bisa dilakukan?

Untuk mengetahui jawabannya, BPKH akan memandu Anda untuk memahami mahar dari dasar, sehingga kita dapat mengetahui hukumnya. Untuk itu, simak selengkapnya artikel di bawah ini!

Apa Itu Mahar dalam Pernikahan?

Secara etimologi, mahar (صداق) berasal dari bahasa Arab yang berarti pemberian. Dalam terminologi Islam, mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai tanda ketulusan hati. Mahar bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta kasih dan penghormatan dari suami kepada istrinya.

Mahar tidak hanya menjadi syarat sah pernikahan, tetapi juga melambangkan tanggung jawab seorang suami dalam membangun rumah tangga. Oleh karena itu, mahar memiliki makna yang sangat mendalam, baik secara spiritual maupun sosial.

Dasar Hukum Mahar dalam Pernikahan

Pemberian mahar diatur secara tegas dalam Al-Qur’an. Salah satu dasar hukumnya terdapat dalam Surat An-Nisa’ ayat 4, yang berbunyi:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚفَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Ayat ini menekankan bahwa mahar adalah pemberian yang harus diberikan dengan penuh keikhlasan. Selain itu, mahar juga harus diterima oleh mempelai wanita tanpa paksaan, menunjukkan adanya nilai keadilan dalam pelaksanaan syariat Islam.

Baca Juga: Cara Cek Nomor Porsi Keberangkatan Jamaah Haji dan Estimasi Keberangkatannya

Syarat-Syarat Mahar dalam Pernikahan

Agar mahar yang diberikan memenuhi syarat dalam Islam, ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi. Syarat-syarat ini bertujuan untuk memastikan mahar diberikan dengan cara yang sah dan tidak menimbulkan perselisihan pada kemudian hari. Berikut syarat-syaratnya:

1. Barang yang Suci dan Bermanfaat

Barang yang dijadikan mahar harus bersifat halal dan bermanfaat bagi penerimanya. Barang yang haram, seperti minuman keras, atau barang yang najis, tidak dapat dijadikan mahar karena tidak sesuai dengan syariat Islam.

2. Merupakan Harta atau Benda Berharga

Mahar harus memiliki nilai material atau ekonomis. Contohnya adalah uang tunai, emas, tanah, atau bahkan jasa tertentu yang disepakati bersama, seperti mengajarkan ilmu agama. Barang yang tidak memiliki nilai nyata, seperti janji belaka tanpa bentuk konkret, tidak dapat dijadikan mahar.

3. Bukan Milik Orang Lain (Ghasab)

Barang yang dijadikan mahar harus merupakan milik sah dari calon suami. Tidak boleh mengambil barang milik orang lain tanpa izin (ghasab) atau menggunakan barang yang didapatkan dengan cara yang tidak sah, karena hal ini melanggar prinsip kejujuran dalam Islam.

4. Barangnya Memiliki Kejelasan

Mahar harus jelas dalam hal bentuk, ukuran, jumlah, atau nilainya. Misalnya, jika berupa uang, maka nominalnya harus disebutkan. Jika berupa barang, spesifikasinya harus dijelaskan untuk menghindari kebingungan atau perselisihan setelah akad nikah.

Baca Juga: 9 Tips Menabung untuk Ibadah Haji

Jenis-Jenis Mahar dalam Pernikahan

Mahar dalam Islam dapat dibagi menjadi dua jenis utama berdasarkan penyebutannya dalam akad nikah, yaitu:

1. Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang disebutkan secara jelas jenis, jumlah, dan bentuknya saat akad nikah. Contohnya uang sebesar lima juta rupiah, emas dengan berat tertentu, atau barang tertentu seperti kendaraan atau rumah. Dalam hal ini, mahar sudah diketahui secara rinci oleh kedua belah pihak sebelum pernikahan berlangsung.

2. Mahar Mitsil

Mahar mitsil merupakan mahar yang nilainya disesuaikan dengan kebiasaan keluarga pihak wanita atau adat masyarakat setempat. Biasanya, mahar mitsil digunakan jika dalam akad nikah tidak disebutkan secara spesifik jenis dan jumlah maharnya. Nilai mahar mitsil ditentukan berdasarkan status sosial, pendidikan, atau adat keluarga mempelai wanita.

Bolehkah Menggunakan Mahar Haji untuk Menikah?

Penggunaan haji atau umrah sebagai mahar dalam pernikahan masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Perbedaan pendapat ini muncul karena mahar harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti memiliki kejelasan bentuk, nilai, dan kepemilikan. Berikut pandangan dari dua mazhab besar mengenai hal ini:

1. Pendapat Ulama Hanabilah

Menurut ulama Hanabilah, haji atau umrah tidak dapat dijadikan mahar. Pendapat ini didasarkan pada beberapa alasan berikut:

Tidak Memiliki Nominal Pasti

Biaya haji dan umrah bersifat fluktuatif karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kurs mata uang, perubahan kebijakan pemerintah, serta biaya perjalanan dan akomodasi. Ketidakpastian ini membuat haji sulit memenuhi syarat kejelasan nilai dalam mahar.

Ibadah yang Memerlukan Kesiapan

Haji merupakan ibadah yang membutuhkan kesiapan fisik, mental, dan finansial. Karena itu, nilainya tidak dapat disamakan dengan benda atau harta tertentu yang lebih konkret. Berdasarkan pandangan ini, Hanabilah cenderung lebih konservatif dan tidak membolehkan haji sebagai mahar.

Baca Juga: 7 Sunnah Haji dan Umrah yang Perlu Anda Ketahui

2. Pendapat Ulama Malikiyah

Sebagian ulama Malikiyah membolehkan haji atau umrah dijadikan mahar, tetapi dengan beberapa catatan penting, seperti:

Disertai Mahar Lain yang Konkret

Pendapat Malikiyah yang membolehkan haji sebagai mahar mengharuskan adanya tambahan bentuk mahar lain, seperti uang tunai, emas, atau barang berharga. Hal ini untuk memenuhi syarat kejelasan bentuk dan nilai dalam mahar.

Kesepakatan Kedua Pihak

Haji dapat dijadikan mahar asalkan disepakati oleh kedua belah pihak dengan memahami risiko yang ada, seperti perubahan biaya atau penundaan pelaksanaan ibadah haji. Namun, sebagian ulama Malikiyah yang lain tetap tidak membolehkan haji sebagai mahar, dengan alasan serupa dengan pandangan ulama Hanabilah, yakni ketidakjelasan nilai dan risiko pelaksanaan yang tinggi.

Keuntungan Menggunakan Mahar Haji untuk Menikah

Meski terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai keabsahan mahar haji, tidak dapat disangkal bahwa memilih mahar berupa haji memiliki sejumlah keuntungan, terutama jika dilihat dari sudut pandang spiritual dan perencanaan masa depan. Berikut beberapa keuntungannya:

1. Meningkatkan Kesadaran untuk Menunaikan Haji di Usia Muda

Menggunakan haji sebagai mahar dapat menjadi motivasi awal bagi pasangan suami istri untuk segera mendaftar haji. Proses ini sejalan dengan kampanye Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang mengajak masyarakat untuk mendaftar haji di usia muda.

Mendaftar haji sejak dini memberikan banyak keuntungan. Masa tunggu yang cukup panjang dapat dimanfaatkan untuk mempersiapkan diri secara fisik, mental, dan spiritual. Usia muda juga dianggap ideal karena tubuh masih kuat untuk menjalani ibadah haji, yang memerlukan stamina tinggi, terutama untuk kegiatan seperti thawaf, sa’i, dan wukuf.

Baca Juga: Wukuf dan Pesan Rasulullah tentang HAM

2. Membawa Simbol Keberkahan dalam Pernikahan

Dalam Islam, haji adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat dimuliakan. Dengan menjadikannya sebagai mahar, diharapkan pernikahan mendapatkan keberkahan dan limpahan rahmat dari Allah.

Mahar haji juga dapat menjadi simbol kesungguhan dan ketulusan suami dalam memulai rumah tangga. Selain itu, ibadah haji sebagai mahar akan mendorong pasangan untuk menjadikan agama sebagai landasan utama dalam membangun hubungan pernikahan.

3. Mendorong Perencanaan Keuangan yang Matang

Menggunakan haji sebagai mahar menuntut pasangan untuk mulai merencanakan keuangan sejak dini. Biaya haji yang cukup besar menjadi tantangan sekaligus kesempatan untuk pasangan belajar mengelola keuangan bersama.

Perencanaan ini mencakup pengelolaan pendapatan, penghematan, dan investasi jangka panjang. Dengan terbiasa merencanakan keuangan untuk tujuan ibadah, pasangan akan lebih mudah mengatur kebutuhan finansial lainnya dalam kehidupan rumah tangga, seperti pendidikan anak, investasi rumah, atau tabungan masa depan.

Kesimpulan

Mahar haji merupakan konsep yang menarik dan penuh makna spiritual dalam pernikahan. Namun, penggunaannya tetap perlu memperhatikan syarat dan ketentuan yang berlaku, baik dari segi hukum agama maupun kesepakatan antara kedua belah pihak. Selain itu, pendapat ulama terkait mahar haji cukup beragam, sehingga penting bagi calon pengantin untuk memahami pendapat yang sesuai dengan keyakinan mereka.

Apabila Anda sedang mempertimbangkan untuk menggunakan mahar haji, pastikan untuk berdiskusi dengan keluarga dan pasangan, serta mencari informasi lebih lanjut dari pihak yang kompeten. Jangan lupa, kunjungi website BPKH untuk mendapatkan informasi lengkap tentang topik-topik Islami lainnya, seperti sejarah Islam, tata cara ibadah, hingga pengelolaan keuangan haji yang berbasis syariah, akuntabel, dan transparan!

Share this post

superuser BPKH

Humas BPKH menyajikan informasi terkini dan edukatif seputar haji, umrah, dan ilmu keuangan islam. Kami berkomitmen memberikan pelayanan terbaik dan transparansi bagi masyarakat.